Kamis, 19 Juni 2008

Enam Operator Bakal Kena Sanksi KPPU

Rabu, 18 Juni 2008 | 08:39 WIB

JAKARTA, RABU - Hari ini (18/6) adalah hari yang mendebarkan bagi para operator telepon seluler di Tanah Air. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan memutuskan dugaan praktik kartel di bisnis layanan pesan singkat atau short message service (SMS). Yang menjadi tertuduh adalah sembilan perusahaan operator.

Tiga anggota majelis KPPU akan menggelar sidang putusan pada hari ini. Dedie S Martadisastra akan memimpin persidangan, dangan diikuti dua anggota, yakni M Nawir Messi dan Erwin Syahril. "Rabu ini kami memang akan memutuskan," kata Dedie, ketua Majelis KPPU, Selasa (17/6).

Dalam kasus ini, KPPU menuduh sembilan operator seluler telah melakukan praktik kartel layanan pesan singkat sejak tahun 2004 hingga 2007. Mereka adalah PT Indosat (Satelindo), PT Exelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (operator Flexi Telkom), dan PT Bakrie Telecom (Esia). Kemudian, PT Mobile-8 Telecom Tbk (Fren), PT Smart Telecom (Smart), PT Hutchison CP Telecomunication (Three), dan PT Natrindo Telepon Seluler (NTS). "Sementara ini sembilan operator terindikasi kuat melakukan kartel SMS," kata Dedie.

Namun, ia mengakui, dari hasil pemeriksaan lanjutan hanya enam operator yang diduga kuat melakukan kartel. Mereka adalah XL, Telkomsel, Telkom, Esia, Fren, dan Smart. Sedangkan tiga operator lainnya, yakni Indosat, Three, dan NTS, tidak terbukti melakukan kartel. "Itu kesimpulan kami dalam pemeriksaan lanjutan," tutur Dedie. Biasanya hasil pemeriksaan lanjutan itu menjadi dasar kuat di persidangan.

Denda yang dikenai bisa mencapai Rp 25 miliar Dugaan kartel oleh operator seluler tersebut melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan Pasal 47 dan 48 UU No 5/1999, pelanggaran pasal itu terancam denda minimal Rp 5 miliar dan maksimal Rp 25 miliar. "Sanksinya kita lihat hasil persidangan saja," kata Dedie.

Direktur Utama PT Indosat Tbk Johny Swandi Sjam sejak awal optimistis tudingan terhadap perusahaanya tak akan terbukti. Karena selama ini tak pernah ada perjanjian maupun mengikuti perjanjian kartel SMS. "Soal tarif, selama ini kami menerapkan kebijakan sendiri bukan ikut-ikutan operator lain," tegasnya.

Vice Presiden Public & Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia juga membantah tuduhan KPPU yang menyatakan Telkom ikut terlibat dalam kartel SMS. "Tidak ada kartel, tarif itu sudah terjadi karena mekanisme pasar," kata Eddy.

Sumber:Kompas.com

Bersalah! Enam Operator Telepon Didenda

Rabu, 18 Juni 2008 | 16:56 WIB

JAKARTA, RABU - Majelis Komisi yang menangani perkara praktik kartel di bisnis layanan pesan singkat atau short message service (SMS) memutuskan bersalah enam perusahaan operator telepon seluler, yakni PT Excelcomindo Pratama Tbk, PT Telekomunikasi Seluler, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Bakrie Telecom, PT Mobile-8 Telecom Tbk, dan PT Smart Telecom.

Dalam pembacaan putusannya, Ketua Majelis Dedie S Martadisastra mengatakan, keenam perusahaan operator tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Sementara itu, tiga perusahaan operator lainnya yang sebelumnya juga dilaporkan terkait praktik kartel tersebut dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU No 5/1999. "Ketiga perusahaan tersebut, yakni PT Indosat Tbk, PT Hutchison CP Telecommunication, dan PT Natrindo Telepon Seluler," ujar Dedie saat sidang putusan di Gedung KPPU, Jakarta, Rabu (18/6).

Majelis Komisi berpendapat, keenam perusahaan tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran dalam penetapan harga SMS off-net (short message service antar operator) yang dilakukan pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008.Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan Tim Pemeriksa KPPU ditemukan fakta bahwa pada periode 2004 hingga 2007, industri seluler Indonesia ditandai dengan masuknya beberapa operator baru dan mewarnai persaingan harga.

Namun demikian, harga SMS yang berlaku untuk layanan SMS off-net hanya berkisar Rp 250 hingga Rp 350. Pada periode tersebut, tim pemeriksa menemukan beberapa klausul penetapan harga SMS yang tidak boleh lebih rendah dari Rp 250 dan dimasukkan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) interkoneksi di antara operator.

Pada Juli 2007, Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) mengeluarkan surat meminta semua anggotanya membatalkan kesepakatan harga. Meskipun sudah ada permintaan tersebut, Tim Pemeriksa KPPU melihat tidak adanya perubahan harga SMS off-net yang signifikan di pasar.Dengan harga yang tidak berubah dari 2007 hingga sekarang, Tim Pemeriksa menilai kartel harga SMS masih efektif sampai April 2008. Terkait putusan Majelis Komisi tersebut, keenam perusahaan operator tersebut didenda Rp 4 miliar hingga Rp 25 miliar.

Sumber:Kompas.com

Telkomsel dan XL Didenda 25 Miliar

Rabu, 18 Juni 2008 | 17:22 WIB

JAKARTA, RABU - Dua perusahaan operator besar di Indonesia yakni PT Excelkomindo Pratama Tbk dan PT Telekomunikasi Seluler diharuskan membayar denda sebesar Rp25 miliar karena terbukti terlibat dalam praktek kartel di bisnis layanan pesanan singat atau SMS.

"Majelis Hakim memutuskan menghukum terlapor I PT Excelkomindo Pratama Tbk dan Terlapor II PT Telekomunikasi Seluler masing-masing membayar denda sebesar Rp 25 Miliar" kata Ketua Majelis Komisi Dedie S Martadisastra pada sidang putusan dugaan praktek kartel yang melibatkan sembilan perusahaan operator di Gedung KPPU, Jakarta, Kamis (18/6).

Dari sembilan perusahaan operator yang dilaporkan, enam perusahaan dinyatakan bersalah dan lima di antaranya didenda, sementara tiga perusahaan lainnya dinyatakan tidak terbukti bersalah. Selain dua perusahaan di atas, Majelis Hakim yang beranggotakan Erwin Syahril dan Nawir Messi ini juga menghukum tiga perusahaan lainnya.

Ketiga perusahaan tersebut yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk yang diharuskan membayar denda sebesar Rp 18 Miliar, PT Bakrie Telecom Tbk yang diharuskan membayar denda sebesar Rp 4 Miliar, dan PT Mobile-8 Telecom Tbk dengan denda Rp 5 Miliar.Majelis Hakim menegaskan bahwa denda-denda tersebut harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melalui bank Pemerintah.

Sumber:Kompas.com

Telkomsel Bersikeras Tidak Lakukan Kartel

Rabu, 18 Juni 2008 | 18:21 WIB

JAKARTA, RABU - Terkait putusan Majelis Komisi yang mengharuskannya membayar denda sebesar Rp 25 miliar, pihak Telkomsel masih mempelajari isi putusan majelis tersebut sebelum memutuskan akan mengajukan banding atau tidak.

Hal itu dikatakan Kuasa Hukum PT Telekomunikasi Seluler Ignatius Andy usai mengikuti sidang putusan perkara dugaan praktek kartel di bisnis layanan pesan singkat (short message service) yang menghadirkan PT Telkomsel sebagai salah satu pihak terlapor.

"Kita belum beri keputusan. Bagaimana pun kita harus lihat dulu isi tertulisnya secara lengkap. Kita pelajari, kita analisa," ujar Ignatius kepada wartawan usai persidangan di Gedung KPPU, Rabu (18/6). Pada kesempatan tersebut, Ia membantah bahwa kliennya telah melakukan praktek kartel dalam perkara ini.

Harga yang diterapkan pihak Telkomsel, jelasnya, adalah harga pasar. Harga tersebut, berdasarkan perhitungan pihak Telkomsel adalah harga yang wajar dan paling menguntungkan buat konsumen. Ignatius mengatakan tidak menutup kemungkinan bahwa kliennya akan mengajukan banding terkait putusan tersebut.

Hal yang sama juga dikatakan Kuasa Hukum PT Excelkomindo pada kesempatan tersebut. "Saya nggak tahu. Nanti akan dipertimbangkan semua aspeknya," ujar Stefanus Haryanto.

Sumber:Kompas.com

Kartel SMS Rugikan Konsumen Rp2,827 Triliun

Rabu, 18 Juni 2008 | 20:28 WIB

JAKARTA, RABU - Akibat praktik kartel layanan pesan singkat (SMS) selama periode 2004 hingga 1 April 2008, konsumen mengalami kerugian mencapai sekitar Rp2,827 triliun. Pernyataan itu dilontarkan dalam keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Rabu (18/6), atas hasil pemeriksaan lanjutan kasus dugaan kartel SMS oleh enam operator yaitu PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk, PT Smart Telecom.

Menurut Ketua Majelis Komisi yang memeriksa kasus kartel SMS, Didie Martadisastra seperti dibacakan pada putusan tersebut, kerugian konsumen dihitung berdasarkan selisih penerimaan harga kartel SMS dengan penerimaan harga kompetitif SMS off net (lintas operator). Bedasarkan pemeriksaan KPPU, periode 2004 hingga 1 April 2008, keenam operator secara sah dan terbukti melanggar persaingan usaha tidak sehat dengan melakukan kartel layanan pesan singkat (SMS).

Majelis komisi menemukan klausula penetapan tarif SMS yang tidak boleh lebih rendah dari tarif yang berlaku berkisar Rp250-Rp350 yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) interkoneksi antara operator. "Berdasarkan perhitungan tersebut maka perkiraan harga yang kompetitif layanan SMS off net adalah Rp114," kata Didie.

Tarif kompetitif mengacu pada tarif interkoneksi layanan SMS originasi Rp38, dan terminasi Rp38 hasil hitungan OVUM, ditambah dengan biaya Retail Services Activities Cost (RSAC) sebesar 40 persen dari biaya interkoneksi dan margin keuntungan sebesar 10 persen.

Sesuai proporsi dan pangsa pasar operator tersebut selama empat tahun praktik kartel SMS berlangsung, Telkomsel mengakibatkan kerugian konsumen terbesar yang mencapai Rp2,1 triliun. Disusul berturut-turut XL sebesar Rp346 miliar, Telkom Rp173,3 miliar, Bakrie Rp62,9 miliar, Mobile-8 Rp52,3 miliar, dan Smart Rp0,1 miliar. Adapun Smart lebih rendah mengakibatkan kerugian konsumen karena operator milik kelompok Sinar Mas Grup tersebut baru bergabung dalam perjanjian kerja sama (PKS) yang ikut menegosiasikan penetapan tarif pada 3 September 2007.

Berdasarkan putusan tersebut, KPPU menghukum sanksi denda operator XL dan Telkomsel masing-masing senilai Rp25 miliar, Telkom (Rp18 miliar), Bakrie Telecom (Rp4 miliar), Mobile-8 Telecom (Rp5 miliar).

Sumber:Kompas.com

Mari Rame-rame Minta Ganti Rugi SMS

Kamis, 19 Juni 2008 | 12:42 WIB

JAKARTA, RABU- Praktek kartel bisnis layanan pesan singkat/SMS (short message service) yang dilakukan enam perusahaan operator besar di Indonesia telah menyebabkan kerugian besar bagi konsumen. Bertolak dari perhitungan kerugian konsumen berdasarkan proporsi pangsa pasar operator pelaku, total kerugian konsumen akibat praktek kartel tersebut diperkirakan sekitar Rp 2,8 triliun.

Namun, sebagaimana disampaikan majelis komisi yang menangani perkara kartel tersebut, KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi ganti rugi terhadap konsumen yang telah dirugikan. "Majelis komisi tidak pada posisi berwenang untuk menjatuhkan sanksi ganti rugi untuk konsumen," ujar Ketua Majelis Komisi Didie S Martadisastra saat membacakan putusan di Gedung KPPU, Jakarta, Rabu kemarin.

Jika konsumen yang merasa dirugikan ingin mengajukan ganti rugi kepada perusahaan operator tertentu, proses pengajuan tersebut bisa ditempuh melalui jalur hukum. Class action dimungkinkan untuk itu.

Demikian dikatakan Komisioner Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) Tadjuddin Noer Said saat dihubungi Kompas.com, Kamis (19/6), terkait Putusan Majelis Komisi soal praktek kartel bisnis SMS yang melibatkan enam perusahaan operator. "Itu buka peluang untuk publik untuk melakukan gugatan perdata, buka peluang untuk class action," katanya.

Tadjuddin mengatakan, putusan KPPU yang memvonis bersalah enam perusahaan operator besar tidak serta merta dapat memerintahkan perusahaan operator menurunkan tarif telepon seluler. KPPU tidak memiliki kewenangan sejauh itu. Ia menjelaskan, yang dipersoalkan KPPU bukan menyangkut besaran tarif SMS tersebut tetapi adanya kesepakatan antarperusahaan operator soal penetapan harga. "Besaran harga tersebut diserahkan pada mekanisme pasar," ujar Tadjuddin.

Tim Pemeriksa KPPU sebelumnya telah menemukan beberapa klausul penetapan harga SMS yang tidak boleh lebih rendah dari Rp 250.

Sumber:Kompas.com

Didenda Rp 25 Miliar, Telkomsel Belum Respon

Jumat, 20 Juni 2008 | 09:41 WIB

JAKARTA, JUMAT - PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) belum memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak menanggapi putusan Majelis Komisi yang mengharuskannya membayar denda sebesar Rp25 Miliar karena terbukti melakukan praktek kartel bisnis Short Message Service (SMS).Kuasa Hukum Telkomsel Ignatius Andy mengatakkan pihaknya akan memastikannya setelah mendapat hasil putusan tertulis yang lengkap dari Majelis Komisi. "Masih tunggu hasil putusan tertulisnya. Sampai saat ini kami belum terima. Kami kan butuh melihat isinya secara lengkap dan mempelajarinya dulu," ujar Ignatius saat dihubungi Kompas.com, Jumat (20/6).

Secara umum, Ignatius mengatakan saat ini pihaknya menolak keputusan Majelis Komisi yang diketuai Dedie S Martadisastra tersebut. Perjanjian yang telah dilakukan kliennya dengan perusahaan operator lain tidak dapat digolongkan praktek kartel, namun perjanjian interkoneksi antaroperator.Perjanjian seperti itu dianggap wajar dalam sebuah bisnis.

Meskipun ada perjanjian tersebut, Ignatius menuturkan para konsumen tetap diberi pilihan menggunakan jasa operator yang mana. Selain itu, tarif SMS sebesar Rp 250 yang ditetapkan tersebut sesuai dengan harga pasar. "Tarif tersebut dianggap masih murah dan menguntungkan konsumen," ujarnya.

Perjanjian interkoneksi antarperusahaan operator, jelasnya, dimaksudkan juga agar ada aturan main soal tarif SMS. Jika ini tidak terjadi dan salah satu perusahaan menguasai bisnis SMS tersebut dikhawatirkan akan mengganggu koneksi. "Kalau banyak SMS yang dipakai. Kalau dipaksa sewenang-wenang, kapasitas yang ada tidak akan menampung kuota," ujarnya.

Dibanding keuntungan yang diperoleh pihak Telkomsel dalam kurun waktu empat tahun dengan adanya perjanjian interkoneksi tersebut yang lebih dari Rp 2,8 triliun, sanksi denda terhadap Telkomsel senilai Rp 25 miliar terhitung kecil. Ditanya komentarnya soal itu, Ignatius mengatakan harusnya kliennya tidak dijatuhi hukuman karena memang tidak bersalah sebagaimana diputuskan Majelis Komisi. "Harusnya tidak dihukum apa-apa. Semua tidak sesuai dengan bukti dan fakta hukum yang ada," ujarnya.

Sumber:Kompas.com